Jumat, 13 Februari 2009

Kesandung Korupsi, Caleg Partai Demokrat Ditahan  

0 komentar

Tuban - Cita-cita Heri Susanto (32) menjadi anggota DPRD Tuban bakal berantakan. Pasalnya calon legislatif (caleg) Partai Demokrat dari Jatirogo ini dijebloskan tahanan karena kesandung kasus korupsi senilai Rp 129 juta.

"Kami tetap memproses tersangka sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Kaur Binops Reskrim Polres Tuban, Iptu Budi Santoso kepada wartawan yang menemuinya di Mapolres Tuban, Senin (12/1/2009).

Menurut Budi Santoso, penahanan dilakukan agar tersangka yang juga karyawan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kharisma Sejahtera Jatirogo tidak kabur, sekaligus untuk mempercepat proses penyidikan yang dilakukan petugas.

Informasi yang dihimpun detiksurabaya.com menyebutkan, kasus ini bermula ketika Heri Susanto tidak menyetorkan angsuran kredit dari nasabah kepada BPR tempat dia bekerja.

Aksi menggelapkan dana milik nasabah ini, terbongkar ketika ada nasabah tetap ditagih oleh BPR, padahal sudah membayar cicilan melalui Heri Susano.

Mengetahui stafnya nakal, pihak BPR telah memberi toleransi agar uang yang dimakannya' segera dibayarkan. Akan tetapi nampaknya, respon kekeluargaan itu tidak disambut baik oleh Heri Susanto. Akibatnya ia dilaporkan ke polisi, hingga kini menjalani proses hukum di Mapolres Tuban.

Sementara itu, sejumlah warga Jatirogo yang ditemui menyatakan, sebenarnya Heri Susanto termasuk tokoh muda berpotensi di wilayah setempat. Sebagai politisi dari Partai Demokrat, ia sudah dikenal luas di wilayah Kecamatan Jatirogo dan sekitarnya.

"Kalau tidak kena masalah hingga ditahan polisi, mungkin dia bisa jadi anggota DPRD dalam Pemilu nanti. Heri dikenal luas oleh masyarakat di Jatirogo," kata Imam Jazuli (37), warga Jatirogo yang ditemui di Desa Sadang, Kecamatan Jatirogo.

Apalagi, ungkap dia, Heri Susanto menempati daerah pemilihan Jatirogo dan dia termasuk aktif dI partai. Selama ini, sebagai caleg nomor urut 1, ia aktif terjun ke lapangan melakukan sosialisasi terhadap pencalegannya.(gik/gik)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!


Selengkapnya...

Selasa, 10 Februari 2009

Skandal Panas DPR RI  

0 komentar



Gara-gara uang haram, Amin mungkin tak pernah membayangkan titian kariernya sebagai politikus akan sampai di ujung sebelum waktunya. Biasanya, kalau satu borok besar terkorek, borokborok kecil lainnya yang tertutup akan terbongkar. Suami pedangdut Kristina ini dicokok oleh KPK di Hotel Ritz Carlton, Rabu (9/4), terkait dengan suap yang diterimanya untuk proses pengalihan fungsi hutan Kabupaten Bintan.
Bersama Amin ditangkap pula Sekretaris Daerah Bintan, Azirwan. Seperti diketahui, hutan lindung di Desa Bintan, Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, seluas 8.300 ha sebagian besar pohonnya telah ditebang untuk keperluan pembangunan Kantor Pemerintah Kabupaten Bintan, akan dijadikan pusat kota, dan hutan ini juga telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri.
Untuk memperlancar proses pengalihan itu Azirwan telah menyetorkan uang secara bertahap kepada Amin lebih dari Rp3 miliar. Dasar moral jeblok, selain duit Amin, anggota Komisi IV juga minta disediakan perempuan oleh Azirwan, dalam percakapan telepon mereka.
Sebelum Amin, ada lagi cerita yang lebih hot, seputar anggota dewan yang terhormat. Bukan menyangkut duit tapi perempuan. Sosok itu tak lain daripada Max Moein asal PDI Perjuangan. Foto mesra bertelanjang dada anggota Komisi IX dengan sekretarisnya, Desi Vidiyanti, di sebuah kamar itu beredar kemana-mana. Semula Max membantah dengan mengatakan foto mesra itu bukan di kamar tapi di kolam renang. Namun itu terbantah karena tidak ada latar belakang kolam. Max terus berkelit. Katanya foto itu diambil di sebuah ruang ganti di kolam renang. Namun apapun alibinya, belakangan ia pun mengaku

Kalau ingin mengikuti track record, turutilah track record yang baik, bukan sebaliknya. Amin dan Max rupanya lupa berkaca dari kasus yang menimpa Yahya Zaini dan Maria Eva pada akhir November 2006. Politikus asal Pohon Beringin ini tampak jelas dalam rekaman video beradegan mesum dengan Eva di sebuah kamar. Akibatnya, karier politik yang dirintisnya dengan penuh perjuangan meredup. Bahkan, stasiun televisi swasta sudah menayangkan 42 detik adegan ranjang dirinya dan pasangannya yang direkam pada 2004. Ia menghindari pers sejak pulang dari kunjungan dinas ke Australia pada 1 Desember 2006. Menurut pengakuan Maria Eva, hubungan tersebut dilakukan tanpa pernikahan dan ia sempat mengandung janin bayi hasil hubungan tersebut, yang kemudian digugurkan.
Setelah menjadi bulan-bulanan pers, Yahya memutuskan mundur dari jabatan kepartaian. Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Bidang Kerohanian. Surat pengunduran diri tertanggal 4 Desember 2006 diterima Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono.

Kotor
Tepat sehari sebelum foto syur Max Moein dilansir media cetak, di Tugu Proklamasi Jakarta dideklarasikan Gerakan Nasional Anti-Politisi Busuk. Dalam deklarasi yang digagas sejumlah LSM itu, masyarakat diminta tidak memilih, mendukung, atau mendanai politikus busuk dalam pemilu 2009. Yang dimaksud politikus busuk adalah mereka yang diketahui terlibat atau mendukung mereka yang melakukan praktik-praktik kotor, terlibat dalam pelanggaran HAM, juga dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, termasuk yang setuju dengan kenaikan BBM, tindak pidana korupsi, perusak lingkungan hidup, dan sebagainya.
Tapi politikus busuk menurut Mohammad Nurfatoni, bukan itu saja, tapi termasuk juga para anggota atau calon anggota dewan yang terlibat kasus-kasus mesum semacam Yahya Zaini atau Max Moein.
“Kita tentu akan mendukung gerakan ini, karena akan menjadi peringatan bagi partai politik untuk lebih selektif dalam menyusun daftar calon legislatif sekaligus menjadi terapi kejut bagi para caleg yang tidak memiliki
kredibilitas dan integritas agar tidak berani mencalonkan diri,” tegasnya.
Hanya saja yang perlu diingat adalah meskipun pada saat menjadi caleg mereka tidak termasuk politisi busuk, tetapi bisa saja ketika sudah terpilih menjadi anggota dewan mereka mengalami proses pembusukan. Ini terkait dengan ketidakmampuan mereka memegang amanah ‘tahta’ yang diberikan rakyat, karena ‘tahta’ itu justru didayagunakan untuk mengeruk ‘harta’ secara ilegal dan menyelingkuhi ‘wanita’!
Terkait itu, Nurfatoni mengingatkan sebuah falsafah betapa kuatnya tiga godaan bagi mereka yang sedang mendaki jalan sukses politik, yaitu tahta, harta, dan wanita (tiga ta). Kini, ‘tiga ta' bukan dianggap sebagai godaan yang perlu disikapi secara hatihati melainkan justru dijadikan sebuah cita-cita secara salah. Jika tahta, yaitu kedudukan terhormat sebagai pejabat negara DPR, sudah diraih maka terbukalah lebarlebar kesempatan untuk menumpuk harta dan menggait wanita, meskipun dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya secara tidak bermoral! Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang anggota dewan yang punya kehormatan, kedudukan, uang, dan ber bagai fasilitas itu? Bukankah dari beberapa kasus asusila anggota dewan tidak jauh dari korupsi dan perselingkuhan serta pelecehan.
Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Tiurlan Hutagaol masalah korupsi dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan anggota DPR telah merusak citra lembaga DPR. Oleh karena itu, menurut Tiurlan, ke depan partai politik dalam merekrut calon legislatif harus secara sungguh-sungguh memperhatikan in tegritas dan moral dari para caleg. Di samping itu, calon legislatif harus memiliki kapasitas intektual yang bagus.
Dia juga meminta masyarakat agar memilih caleg yang memiliki integritas moral, intelektual. Untuk mengantisipasi kasus korupsi termasuk pelecehan seksual angota DPR, maka sejak awal partai politik yang mencalonkan perlu memperhatikan aspek moral dan integritas caleg.
Sebagai contohnya, bila sesorang yang menjadi caleg mengeluarkan uang yang cukup banyak maka tatkala caleg terpilih terpilih akan berpotensi melakukan korupsi."Sekurang-kurangnya menjadi mata duitan," katanya. Sebab itu, kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Syarif Hasan untuk mengantisipasi terulangnya kasus mencederai citra anggota DPR seperti kasus korupsi dan pelecehan seksual maka setiap pribadi anggota DPR dan setiap fraksi di DPR memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kode etik DPR. "Silakan masing-masing fraksi memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan tindakan melanggar kode etik anggota DPR," kata Syarif
Sedangkan anggota BK dari Fraksi PDI Perjuangan, Agung Sasongko berpendapat, pada prinsipnya BK hanya menjaga citra anggota dan lembaga DPR. Selama ini BK menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat terhadap anggota DPR yang diduga melanggar kode etik DPR. "BK itu memproses setiap anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran kode etik DPR berdasarkan aduan masyarakat," kata Agung. Sekjen Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan, BK sebagai penegak citra dewan seharusnya pro aktif untuk menindak anggota DPR yang melakukan pelanggaran kode etik seperti korupsi dan pelecehan seksual. "Setiap anggota dewan yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik harus ditindak dan diberi sanksi," kata Sebastian. Akhirnya Golput Dekadensi moral yang kian sering dipertontonkan anggota DPR dikhawatirkan memicu masyarakat memilih Golput dalam pemilu. Jika pada Pemilu 2004 jumlah Golput tercatat sekitar 34 juta orang, maka pada pemilu mendatang bukan tidak mungkin angka itu akan bertambah secara signifikan. Kemungkinan tersebut memang mengenaskan.

Persoalannya, telah sama-sama mahfum bahwa Pemilu 2004 sebenarnya telah ‘dimenangkan' Golput, bukan partai politik yang berlaga dalam pemilihan. Betapa tidak? Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu saat itu saja hanya menangguk suara 24 juta, jauh di bawah jumlah Golput. Rentang perbedaan suara Golput dengan pemenang Pemilu 2004 yang mencapai 10 juta pemilih ini menegaskan pertanda bahwa sebetulnya partai politik yang ada bukanlah pilihan yang menarik bagi masyarakat.
Maka ketika kondisi DPR kini begitu karut marut dan selalu membuat rakyat mual dengan aneka pengkhianatan atas amanah yang mereka emban, wajar bila keyakinan akan makin berkembangnya golput itu pun semakin menguat. Lihatlah, sementara masyarakat sulit mencatat prestasi legislasi para politisi Senayan, dengan gampang rakyat menunjuk aneka kedegilan yang terbongkar di lembaga terhormat itu.
Tahun ini saja, paling tidak terkuak urusan korupsi yang membenamkan Al Amin Nur Nasution, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, ke ruang sempit kamar tahanan sejak 9 April lalu. Kasus paling mutakhir, saat Bulyan Royan, anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi, tertangkap tangan dengan uang suap sebesar US$ 66.000 dan 5.500 euro, sebuah jumlah uang yang pasti terlalu besar untuk dibelanjakan di Plaza Senayan, tempat anggota dewan yang terhormat itu dicokok tanpa kehormatan.
Belum lagi kasus aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar yang disebutsebut sebagai biaya sosialisasi UU BI dan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas BI. Kasus itu kini telah menyeret dua orang anggota dan mantan anggota DPR, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdu, ke kamar tahanan.

Tentu saja masyarakat tidak akan menutup mata atas kemungkinan besar bahwa masing-masing kasus tak hanya melibatkan Amin dan Bulyan Royan semata.
Melihat posisi keduanya yang bahkan sama sekali tidak dikenal publik sebelum kasus-kasus itu muncul, terlibatnya nama-nama anggota DPR lain adalah sangat mungkin. Apalagi selama proses penyelidikan pun Amin selalu menyatakan bahwa dirinya lebih sebagai pihak yang mewakili rekanrekannya sesama anggota Komisi DPR untuk mengambil komisi dari Pemda Bintan terkait alih fungsi lahan hutan lindung tersebut. Dengan kata lain, nyaris bisa dipastikan bahwa Amin dan Bulyan tak sendirian dalam kasuskasus mereka itu.
Besar kemungkinan ada banyak wakil rakyat lain yang terlibat. Bila kalangan legislatif saja sudah terlibat, rasanya sangat tidak mungkin kebusukan yang sama tidak melibatkan kalangan eksekutif. Karena itu, berbagai saran agar KPK mengembangkan penyidikan ke semua komisi DPR dan mitra-mitra kerja me reka tentu sangatlah argumentatif. Karena itu, keyakinan bahwa tertangkapnya Amin dan Bulyan hanya sekadar ‘konfirmasi' atas maraknya praktik korupsi di DPR, tampaknya benar adanya.
Dari terma dan istilah yang sering dipakai anggota DPR saat mengobrol dengan kolega-kolega mereka, sebenarnya sejak lama bau tak sedap praktik korupsi di Senayan, sudah sangat menyengat.

Belum lagi kalau bicara soal lain yang tak kalah degilnya, yakni moralitas anggota DPR dalam soal perempuan. Masih hangat dalam ingatan masyarakat soal kasus perselingkuhan bekas anggota DPR Yahya Zaini de ngan penyanyi dangdut Maria Eva.
Hari-hari kita di pekan terakhir ini pun masih dipenuhi aneka pemberitaan media massa soal Max Moein. Untuk Bung yang satu ini, urusannya tidak sekadar terekam te ngah memeluk seorang gadis yang hampir bugil, tetapi ia juga harus menghadapi tudingan berbagai pelecehan seksual dari bekas sekre tarisnya di DPR. Kasus-kasus itu tentu saja makin menguatkan kesan busuk rakyat terhadap anggota DPR.
. tbr
Selengkapnya...

Ketua Partai Demokrat Jambi Ditahan Terkait Korupsi  

0 komentar

Jum'at, 02 November 2007 06:27
Kapanlagi.com - Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Jambi, As`ad Syam yang juga mantan Bupati Muarojambi, ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Muarojambi terkait kasus dugaan korupsi jaringan listrik PLTD Sungai Bahar senilai Rp4 miliar tahun 2004.

Tersangka As`ad Syam kembali masuk kedalam Lapas, Kamis pukul 14:00 WIB setelah jaksa penyidik Kejati Jambi melimpahkan berkasnya ke jaksa penuntut Kejari Muarojambi, kata Kapenkum Kejati, Andi Azhari SH.

Penahanan tersangka As`ad adalah yang kedua kalinya setelah pada tahap penyidikan ditahan Kejati namun mantan bupati itu dapat bebas demi hukum karena masa tahanannya habis dan tidak diperpanjang oleh Pengadilan Negeri Jambi.

Pada pelimpahan tahap II yakni tersangka dan barang bukti dari penyidik Kejati ke jaksa penuntut Kejari Muarojambi, tersangka harus ditahan kembali ke dalam lapas.

Penahanan itu adalah wewenang kejaksaan negeri setempat yang akan menyidangkan kasus tersebut, kata Andi Azhari.

Kasus dugaan korupsi PLTD Sungai Bahar Muarojambi itu telah menetapkan empat orang tersangka yakni As`ad Syam, Sudiro Lesmana, Syafaruddin dan Mucthar Muis. (*/rsd)
Selengkapnya...

Korupsi DPRD Kutai Timur  

0 komentar

Samarinda, Kompas - Berkas penyidikan kasus korupsi senilai Rp 46,6 miliar dengan tersangka mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Timur periode 1999-2004 Abdal Nanang dari (PDIP)dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Sangatta. Berkas tersebut memuat 31 dakwaan dan diserahkan setelah penyidikan terhadap Abdal Nanang selesai dilakukan.

Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta Miyanto, Selasa (21/12), mengatakan hal ini. Setelah berkas diserahkan ke Pengadilan Negeri Sangatta, menurut Miyanto, pihaknya tinggal menunggu proses persidangan kasus korupsi tersebut.

Abdal Nanang merupakan tersangka dugaan penyelewengan dana Rp 46,6 miliar tahun anggaran 2001 dan 2002 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim).

Miyanto juga menambahkan, pihaknya belum mencabut status tahanan kota Abdal Nanang. "Status Abdal Nanang sekarang ini masih sebagai tahanan kota. Kalau keluar daerah, dia langsung akan kami tangkap," tegasnya.

Masalahnya, kata Miyanto, dengan dilimpahkannya berkas penyidikan kepada pengadilan, kewenangan penahanan Abdal Nanang sekarang berada di tangan pengadilan. "Sekarang ini kewenangan penahanan ada pada pengadilan setelah berkas tersebut kami limpahkan," ujar Miyanto.

Jangan beri izin

Sementara itu, Kahal Al Bachry dari LSM Pokja 30 Kaltim mendesak agar Abdal Nanang tidak diberikan izin keluar daerah karena statusnya sebagai tersangka dan tahanan kota. Kahar mengatakan, pihaknya mendesak seluruh penegak hukum maupun gubernur agar tidak mengeluarkan izin bagi Abdal Nanang untuk meninggalkan Kota Sangatta.

Menurut Kahar, pihaknya sudah mengetahui adanya permintaan izin bagi mantan Ketua DPRD Kutai Timur tersebut untuk menunaikan ibadah haji. "Ini di luar masalah agama, semuanya murni permasalahan hukum, tidak dibenarkan seorang tahanan kota keluar dari kota," katanya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Provinsi Kaltim M Jauhar Effendi membenarkan adanya permintaan izin kepada Gubernur Kaltim tentang rencana Abdal Nanang untuk naik haji tersebut.

Menurut Jauhar, saat ini surat tersebut masih dikonsultasikan dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Kaltim. "Belum ada keputusan atau disposisi dari Gubernur mengenai permintaan izin tersebut, masih harus dikonsultasikan dahulu dengan Biro Hukum," kata Jauhar. (RAY)


Selengkapnya...

Korupsi DPRD Kota Samarinda  

0 komentar

SAMARINDA - Praktisi hukum senior Samarinda Idrus Arsuni SH menegaskan, skandal tiket (ticket gate) PT Askes yang melibatkan 3 anggota Komisi IV DPRD Samarinda bisa dikategorikan tindak pidana korupsi, mereka adalah Blasius Watu (PDIP), Riyanto Rais, dan Pujo Utomo meminta dana pembelian tiket perjalanan dinas ke PT Askes, sangat tidak etis dilakukan anggota DPRD. Kendati, uang Rp 4 juta yang sempat dibagi tiga itu akhirnya dikembalikan lagi ke PT Askes, karena kuatnya tekanan dari komponen masyarakat.

Blasius Watu sendiri, ketika dikonfirmasi sehari sebelumnya mengaku, sama sekali tidak menyentuh uang pemberian PT Askes itu karena keburu dikembalikan oleh rekannya Pujo Utomo.

"Sebenarnya, uang sudah kita kembalikan sebelum kasusnya mencuat ke permukaan. Ketika itu, masih sebatas desas-desus di lingkungan DPRD," aku Blasius Watu.

Idrus juga mempertanyakan uang perjalanan anggota DPRD, apakah sudah memadai atau tidak. “Kenapa mereka minta lagi uang tiket ke instansi lain. Apa anggaran uang perjalanan tidak cukup, sehingga harus mencari-cari lagi uang tiket,” tegas Idrus.

Sebagai pejabat negara katanya, pasti fasilitas termasuk uang perjalanan sudah cukup. “Kira-kira etis atau tidak, masih meminta uang tiket pada instansi lain,” ujar Idrus dengan nada bertanya.

Lucu jadinya, lanjut Idrus, di tengah masyarakat yang serba kekurangan, wakil rakyatnya malah meminta uang tiket. Ia mengaku, heran apakah uang tiket yang diminta hanya untuk sekadar keperluan main-main. “Apa ada kompensasinya? Jangan sampai menimbulkan imej tidak baik. Bila memang tidak ada kompensasinya, terus uang tiket itu sebagai apa. Khawatirnya ada kompensasi, perlu ditelusuri ada apa dibalik kompensasi,” beber Idrus. Menurutnya, anggota DPRD sebagai wakil rakyat harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Bukan malah sebaliknya. (eri/ar)

Original Link http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Samarinda&id=211877


Selengkapnya...

Korupsi DPRD PPU  

0 komentar

SAMARINDA-Penyidik kasus tindak pidana korupsi di DPRD Penajam Paser Utara (PPU) menemukan kerugian negara sebesar Rp15 miliar. Perhitungan kerugian negara oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim ini lebih besar dibanding temuan penyidik Polda Kaltim. Karena sebelumnya Polda Kaltim meminta perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Banjarmasin dengan kerugian Rp2,5 miliar dan BPKP Kaltim sebesar Rp14 miliar.

"Total kerugian negara memang lebih besar dari penghitungan penyidik Polda Kaltim. Meski begitu kami tetap akan meminta BPKP untuk melakukan perhitungan sekaligus sebagai saksi ahli," jelas Kasi Penkum dan Humas Kejati Kaltim Drs Syakhroni SH didampingi Yohanes Priyadi SH, kemarin.

Syakhroni memaparkan bahwa uang sebesar Rp15 miliar tersebut sebagian diambil dari pos mata anggaran dana penunjang kegiatan dan penunjang operasional DPRD tahun 2003. Pos dana penunjang dan operasional tersebut diperoleh dari APBD di Sekkab PPU dan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp9 miliar.

Anggaran miliaran rupiah tersebut dibagi-bagikan kepada 25 anggota DPRD PPU melalui program taliasih masing-masing sebesar Rp125 juta yang diterima secara bertahap. Tahap pertama diambilkan dari pos dana penunjang kegiatan DPRD dengan pembagian Rp54 juta per anggota. Penerimaan tahap kedua masing-masing sebesar Rp80 juta yang diambil dari ABT tanpa diperdakan.

Total anggaran taliasih dari pos dana penunjang sebesar Rp1,125 milir dan tambahan dari ABT sebesar Rp2 miliar, sehingga jumlahnya mencapai Rp3,125 miliar. Indikasi penyimpangan lainnya adalah, pembagian uang kepada 25 anggota DPRD melalui program asuransi jabatan dan perjalanan dinas sebesar Rp9 juta per orang, ditambah lagi asuransi khusus anggota DPRD Rp15 juta per orang.

Perkara korupsi di DPRD PPU dengan lima tersangka, Ketua DPRD PPU Andi Harahap dan wakilnya, Suparno, Kamaluddin Sahar, Yakhson Alkhairi dan Sekertaris Dewan (Sekwan) Ali Amin, dibagi dalam tiga berkas (splitsing). Andi Harahap dan Ali Amin masing-masing satu berkas, sedangkan Suparno, Kamaluddin dan Yakson digabung menjadi satu berkas.

Kasus korupsi limpahan dari Polda Kaltim pertengahan November 2005 itu sudah memasuki tahap akhir penyidikan. Penyidik tinggal meminta keterangan saksi ahli dari ahli hukum tatanegara dan BPKP Kaltim untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Bahkan bulan depan perkara yang sempat menghebohkan warga PPU itu diperkirakan sudah siap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Tanah Grogot.

SENIN DIPERIKSA

Di pihak lain, Bupati Penajam Paser Utara Drs Yusran dan wakilnya Ichwan Datu Adam, Senin (6/2), diminta ke Ditreskrim Polda Kaltim. Keduanya akan dimintai keterangan selaku saksi kasus korupsi pembelian tanah di Babulu Darat dengan tersangka Arifin Rauf.

Hal tersebut dikemukakan Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol I Wayan Tjatra, Jumat, saat disinggung kemajuan penyidikan kasus Babulu, menyusul telah diterimanya izin pemeriksaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akhir pekan lalu.

"Surat sudah kita kirimkan Rabu (1 Februari, Red.. Mudah-mudahan mereka mau memenuhinya," harap Wayan.

Meski selaku saksi, tambah dia, jika mau, penyidik mempersilakan Yusran maupun Ichwan didampingi pengacara selama pemeriksaan berlangsung. "Itu hak mereka, silakan saja," sambungnya. (yus/pra/dea)

Original Link http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Hukum&id=147264



Selengkapnya...

Kasus 6 Anggota DPRD Tertahan  

0 komentar

Rabu, 23 Juli 2008
Kejagung Perintahkan Tunggu Perkara Pimpinannya Inkracht

SAMARINDA- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim hingga Selasa (22/7) kemarin belum menyentuh kelanjutan kasus 6 anggota DPRD Kaltim. Padahal, mereka sudah lama ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana penunjang kegiatan DPRD 2000-2003 sebesar Rp 96,4 miliar.

Kajati Kaltim Iskamto mengatakan, pihaknya baru akan melanjutkan kasus itu bila perkara 3 unsur pimpinan DPRD Kaltim periode 1999-2004 sudah mendapat keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Menurut dia, kendalanya hanya karena perkara 3 unsur pimpinan DPRD yang lebih dulu diadili belum inkracht. Itulah yang membuat proses hukum kasus terkait PP Nomor 110/2000 tentang Susunan dan Kedudukan Keuangan DPRD itu seolah tertahan. Apalagi, sampai kemarin, salinan putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap perkara ketiga unsur pimpinan DPRD itu, belum seluruhnya diterima kejati.

”Sampai sekarang, yang kami terima baru satu perkara. Yaitu, salinan putusan MA untuk Kasyful Anwar . Yang lain belum,” terang Iskamto. Meski sudah lama beredar di media massa bahwa putusan kasasi terhadap Sukardi Jarwo Putro dari PDIP dan Khairul Fuad dari PPP sama dengan Kasyful Golkar, yakni, hukuman percobaan selama 1 tahun, Kejati Kaltim tetap menunggu kepastian ”hitam di atas putih” dari MA.

Sebelumnya, Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kaltim Yuspar menjelaskan, pihaknya telah mempelajari dan mengevaluasi putusan MA terhadap Kasyful. Hasil evaluasi penyidik kejati itu menjadi bahan pertimbangan untuk meminta petunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Surat (permohonan petunjuk, Red.) sudah kami kirim ke Kejaksaan Agung,” kata Yuspar, beberapa hari lalu.

Rupanya, kejagung memerintahkan, kelanjutan kasus tersebut menunggu perkara 3 unsur pimpinan DPRD inkracht. “Intinya, kasus itu tetap kami sikapi. Tapi, menunggu perkara 3 unsur pimpinan DPRD inkracht,” tambah Kasi Penkum dan Humas Kejati Syakhroni, kemarin.

Kejati tampaknya cukup hati-hati menyikapi kasus tersebut. Pasalnya, kasus itu terkait kebijakan pemerintah (PP Nomor 110), di mana permasalahan itu sendiri masih diperdebatkan berbagai pihak.

Tapi, bagi kalangan praktisi hukum, kasus korupsi DPRD Kaltim itu mesti segera dituntaskan. Selain untuk memperjelas duduk masalahnya, juga menghindari berkembangnya polemik di masyarakat.

Yang tak kalah penting kata dia, bagaimana kelanjutan proses hukum kasus tersebut memberikan rasa adil bagi masyarakat, termasuk ke-6 anggota DPRD yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Putusan MA dengan hukuman 1 tahun percobaan kepada 3 unsur pimpinan DPRD, oleh beberapa kalangan dinilai menarik untuk dicermati, karena erat kaitannya dengan nasib 6 anggota lainnya, yakni, Herlan Agussalim P.Golkar, Ipong Muchlisoni PKB, Abdul Hamid, AA Soemarsono, Hermain Okol (sekarang Partai Gerindar), dan Agus Tantomo (sekarang PPP).

“Jika unsur pimpinan saja divonis percobaan, orang pasti memprediksi anggotanya akan divonis lebih ringan,” ujar seorang praktisi hukum di Samarinda.

“Tapi, ini bukan masalah layak atau tidak layak, sehingga dianggap sia-sia bila proses hukumnya dilanjutkan. Proses hukum dilakukan untuk menjamin kepastian hukum para tersangka apakah melakukan kesalahan (korupsi, Red.) atau tidak,” kata Johnson Daud, ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Kaltim. (kri)

Selengkapnya...

Minggu, 08 Februari 2009

Caleg Cabuli Pelajar Kelas 2 MTs  

0 komentar

Selasa, 20 Januari 2009
Pakai Obat Bius, Mengaku Pelayanan Istri Kurang Maksimal

TENGGARONG. Hanya lantaran tidak kuat menahan napsu seksualnya, seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) bernama Achmadi (40), beralamat di Dusun Sida Karya, Desa Kerta Buana, Tenggarong Seberang, harus berurusan dengan polisi.

Kader salah satu partai besar yang identik dengan warga hijau itu, terpaksa membatalkan impiannya jadi wakil rakyat di lembaga legislatif. Ia dilaporkan ke polisi atas tuduhan mencabulu Kembang (nama samaran), pelajar berusia 14 tahun yang duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) -- setara SMP-- di Tenggarong Seberang.

"Dari penjelasan korban (Kembang, Red), kejadian terakhir Kamis (8/1) lalu. Saat ini korban dikerjai tersangka dalam kondisi tak sadarkan diri, setelah dibius pelaku (Achmadi, Red). Selain itu, beberapa malam sebelumnya Achmadi juga kerab mencium bibir dan menggerayangi korban," ujar Kapolres Kukar AKBP Dono Indarto SIK, melalui Kapolsek Teluk Dalam AKP Sentot Susanto kepada Sapos, Senin (19/1) kemarin.

Nista menimpa Kembang itu sendiri menurut Kapolsek terungkap setelah korban didesak kekasihnya, Sug (24), yang cemburu dengan ulah tersangka. Pasalnya, sejak pertengahan Desember 2008 lalu, Achmadi gencar mengunjungi rumah Jum (45), tak lain tante korban. Bahkan hingga pukul 01.00 Wita.

"Karena kejadian itu, pacar korban kemudian marah dan membuat perhitungan dengan tersangk (Achmadi, Red). Setelah itu warga Kerta Buana melaporkan dugaan pencabulan tersebut ke sini (Polsek Teluk Dalam). Selanjutnya korban (Kembang, Red) yang saat ini tinggal bersama ibu kandung dan bapak tirinya itu, kami mintai keterangan. Ia mengaku mengaku dikerjai caleg itu," tambah kapolsek.

Sementara itu Kembang mengaku tak kuasa menolak perbuatan Achmadi lantaran tak enak dengan tantenya (adik dari ayah tiri korban) maupun kakak sepupunya, lantaran sering ikut bekerja memasang instalasi listrik bersama Achmadi. Puncaknya Achmadi mengajak korban ke Desa Bukit Raya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumahnya.

Tepatnya Kamis (8/1) sekitar pukul 08.00 Wita Kembang dibonceng naik motor menuju rumah salah seorang saudara korban di Bukit Raya (L1). Namun motor dibelokkan ke sebuah rumah teman Achmadi yang tak dikenal oleh korban.

"Saya bersama dia (Achmadi, Red) duduk di ruang tamu. Ibu yang punya rumah itu keluar. Waktu itu saya tidak ingat apa-apa," ucap gadis lugu bertubuh sintal itu.

Pengakuan Kembang yang mendadak tak ingat itu disinyalir lantaran Achmadi menggunakan obat bius untuk memperdaya korban. Namun saat dikonfirmasi langsung ke Achmadi, lelaki yang sudah beristri dan memiliki dua anak itu membantahnya.

"Kalau mencium dan meraba-raba, memang benar. Tapi semua itu lantaran saya khilaf. Saya juga sering memberinya uang. Mungkin sudah lebih Rp200 ribu. Saya tergoda dia karena tubuhnya montok. Sedangkan pelayanan istri saya sekarang memang tak lagi memuaskan," kata caleg yang sehari-harinya bekerja sebagai pencatat meteran listrik sebuah perusahaan kontraktor PLN di Tenggarong Seberang itu.

Kendati Achmadi mati-matian membantah dirinya tak melakukan tindakan buruk kepada Kembang, namun menurut polisi menegaskan, berdasarkan keterangan visum et revertum dari dokter, selaput dara korban sudah robek alias tak lagi perawan di usia sangat belia tersebut.

"Surat visumnya kami terima besok (hari ini, Red) tapi tadi dokternya sempat bilang, jika hasil pemeriksaan diketahui korban sudah tidak perawan," ucap Kapolsek.

Dari hasil pemeriksaan dokter itulah diketahui ada indikasi perbuatan cabul dilakukan Achmadi terhadap korban, kendati tersangka terus membantah tak melakukan perbuatan esek-esek, selain mencium dan menggerayangi dana korban. Sementara ini Acmadi dijerat dengan pasal 294 KUHP (perbuatan cabul) dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara dan UU No 23/2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

"Pelaku sementara kami tahan guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut," tambah Kapolsek.


Selengkapnya...

36 Anggota DPRD Menikmati Bansos  

0 komentar

TENGGARONG-Dana bantuan sosial (bansos) APBD Kutai Kartanegara (Kukar) 2005-2006 yang menurut KPK nilainya Rp 30 miliar, tak hanya dinikmati Samsuri Aspar dan Setia Budi. Sebanyak 36 orang dari 40 anggota DPRD Kukar diduga ikut kebagian.
“Kasus dugaan korupsi (bansos, Red.) ini tak berhenti sampai di sini. Para anggota Dewan yang dimintai keterangan KPK pasti akan dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan,” kata Ketua DPRD Kukar Rahmat Santoso kepada Kaltim Post belum lama ini.

Rahmat yang juga sempat kecipratan dana bansos bersama 36 anggota Dewan lainnya itu mengaku akan memberikan keterangan apa adanya di pengadilan. Sayangnya, Rahmat tak bersedia membeberkan siapa aktor-aktor di balik kasus bagi-bagi dana bansos tersebut. “Kita akan berbicara apa adanya di pengadilan nanti,” ujarnya.

Pernyataan senada diungkapkan anggota DPRD Kukar I Made Sarwa yang juga Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kukar. Made mengaku pernah menerima uang sekira Rp 375 juta dari rekannya sesama anggota. Namun Made tidak tahu kalau uang yang diterimanya itu diambil dari dana bansos.

“Kalau waktu itu saya tahu tidak mau ambil. Tahu-tahu saya dikasih uang dua kali. Pertama berupa cek dan yang kedua uang kontan. Jumlah saya lupa. Saya terima katanya dari Bapak (Bupati Kukar Syaukani HR yang sekarang non-aktif, Red.),” kata Made seraya menyebutkan nama rekan anggota DPRD berinisial Kh yang memberinya uang.

Made mengira bahwa uang yang diterimanya itu bonus dari Syaukani-Samsuri yang terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Kukar. Karena seluruh anggota Dewan menerimanya kecuali tiga orang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), HM Ali Hamdi, Suriadi, dan Saiful Aduar. Sedangkan seorang lagi adalah Jumarin Thripada dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat baru terjadi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari anggota sebelumnya. Sedangkan dua anggota dari PAN lainnya HM Irkham dan Marwan ikut menerima.

“Yang saya dengar PKS memang tidak meneterima,” jelas Ketua Komisi III DPRD Kukar itu. Karena uang yang diterimanya itu belakangan bermasalah akhirnya Made pun harus mengembalikannya. Mantan Dandim Tenggarong itu mengaku harus pinjam uang ke bank untuk mengembalikannya dengan cara dicicil.

Sebelumnya Irkham yang juga Ketua Fraksi Amanat Kesejahteraan Rakyat (AKR) DPRD Kukar itu mengaku terima uang yang belakangan diketahui dana bansos. Ia mengetahuinya setelah diperiksa penyidik KPK di Polres Kukar. Karena yang dia tahu uang itu adalah pemberian dari Syaukani.

“Pak Kaning (Syaukani, Red.) itu ‘kan orangnya baik. Banyak pejabat dan masyarakat yang dinaikkan haji atau umrah. Uang itu saya kira pemberian Pak Kaning kepada anggota DPRD secara pribadi. Saya tidak akan terima kalau uang itu dari bansos,” tegasnya.

Bahkan Irkham merasa tertipu setelah mengetahui bahwa uang yang sudah habis digunakan untuk kepentingan pribadinya itu ternyata uang bansos. Ketua DPD PAN Kukar itu mangaku hanya diberi Rp 175 juta. Namun KPK meminta agar dirinya mengembalikan sebesar Rp 375 juta sesuai data yang tertera di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dimilikinya.

Beberapa anggota DPRD yang mengaku sudah melunasi adalah Bachtiar Effendi, Syarifuddin, Mahdalena, Irwan Muchlis. Sedangkan yang lainnya banyak yang tak bersedia dimintai keterangan. Namun sebagian besar sudah mengembalikan uang ke kas daerah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim Cabang Tenggarong. Terbukti beberapa anggota Dewan menyerahkan bukti penyetoran uang kepada penyidik KPK di Polres Kukar dengan total Rp 6 miliar.
Sumber : Kaltim Post

Selengkapnya...