Selasa, 10 Februari 2009

Skandal Panas DPR RI  

0 komentar



Gara-gara uang haram, Amin mungkin tak pernah membayangkan titian kariernya sebagai politikus akan sampai di ujung sebelum waktunya. Biasanya, kalau satu borok besar terkorek, borokborok kecil lainnya yang tertutup akan terbongkar. Suami pedangdut Kristina ini dicokok oleh KPK di Hotel Ritz Carlton, Rabu (9/4), terkait dengan suap yang diterimanya untuk proses pengalihan fungsi hutan Kabupaten Bintan.
Bersama Amin ditangkap pula Sekretaris Daerah Bintan, Azirwan. Seperti diketahui, hutan lindung di Desa Bintan, Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, seluas 8.300 ha sebagian besar pohonnya telah ditebang untuk keperluan pembangunan Kantor Pemerintah Kabupaten Bintan, akan dijadikan pusat kota, dan hutan ini juga telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri.
Untuk memperlancar proses pengalihan itu Azirwan telah menyetorkan uang secara bertahap kepada Amin lebih dari Rp3 miliar. Dasar moral jeblok, selain duit Amin, anggota Komisi IV juga minta disediakan perempuan oleh Azirwan, dalam percakapan telepon mereka.
Sebelum Amin, ada lagi cerita yang lebih hot, seputar anggota dewan yang terhormat. Bukan menyangkut duit tapi perempuan. Sosok itu tak lain daripada Max Moein asal PDI Perjuangan. Foto mesra bertelanjang dada anggota Komisi IX dengan sekretarisnya, Desi Vidiyanti, di sebuah kamar itu beredar kemana-mana. Semula Max membantah dengan mengatakan foto mesra itu bukan di kamar tapi di kolam renang. Namun itu terbantah karena tidak ada latar belakang kolam. Max terus berkelit. Katanya foto itu diambil di sebuah ruang ganti di kolam renang. Namun apapun alibinya, belakangan ia pun mengaku

Kalau ingin mengikuti track record, turutilah track record yang baik, bukan sebaliknya. Amin dan Max rupanya lupa berkaca dari kasus yang menimpa Yahya Zaini dan Maria Eva pada akhir November 2006. Politikus asal Pohon Beringin ini tampak jelas dalam rekaman video beradegan mesum dengan Eva di sebuah kamar. Akibatnya, karier politik yang dirintisnya dengan penuh perjuangan meredup. Bahkan, stasiun televisi swasta sudah menayangkan 42 detik adegan ranjang dirinya dan pasangannya yang direkam pada 2004. Ia menghindari pers sejak pulang dari kunjungan dinas ke Australia pada 1 Desember 2006. Menurut pengakuan Maria Eva, hubungan tersebut dilakukan tanpa pernikahan dan ia sempat mengandung janin bayi hasil hubungan tersebut, yang kemudian digugurkan.
Setelah menjadi bulan-bulanan pers, Yahya memutuskan mundur dari jabatan kepartaian. Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Bidang Kerohanian. Surat pengunduran diri tertanggal 4 Desember 2006 diterima Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono.

Kotor
Tepat sehari sebelum foto syur Max Moein dilansir media cetak, di Tugu Proklamasi Jakarta dideklarasikan Gerakan Nasional Anti-Politisi Busuk. Dalam deklarasi yang digagas sejumlah LSM itu, masyarakat diminta tidak memilih, mendukung, atau mendanai politikus busuk dalam pemilu 2009. Yang dimaksud politikus busuk adalah mereka yang diketahui terlibat atau mendukung mereka yang melakukan praktik-praktik kotor, terlibat dalam pelanggaran HAM, juga dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, termasuk yang setuju dengan kenaikan BBM, tindak pidana korupsi, perusak lingkungan hidup, dan sebagainya.
Tapi politikus busuk menurut Mohammad Nurfatoni, bukan itu saja, tapi termasuk juga para anggota atau calon anggota dewan yang terlibat kasus-kasus mesum semacam Yahya Zaini atau Max Moein.
“Kita tentu akan mendukung gerakan ini, karena akan menjadi peringatan bagi partai politik untuk lebih selektif dalam menyusun daftar calon legislatif sekaligus menjadi terapi kejut bagi para caleg yang tidak memiliki
kredibilitas dan integritas agar tidak berani mencalonkan diri,” tegasnya.
Hanya saja yang perlu diingat adalah meskipun pada saat menjadi caleg mereka tidak termasuk politisi busuk, tetapi bisa saja ketika sudah terpilih menjadi anggota dewan mereka mengalami proses pembusukan. Ini terkait dengan ketidakmampuan mereka memegang amanah ‘tahta’ yang diberikan rakyat, karena ‘tahta’ itu justru didayagunakan untuk mengeruk ‘harta’ secara ilegal dan menyelingkuhi ‘wanita’!
Terkait itu, Nurfatoni mengingatkan sebuah falsafah betapa kuatnya tiga godaan bagi mereka yang sedang mendaki jalan sukses politik, yaitu tahta, harta, dan wanita (tiga ta). Kini, ‘tiga ta' bukan dianggap sebagai godaan yang perlu disikapi secara hatihati melainkan justru dijadikan sebuah cita-cita secara salah. Jika tahta, yaitu kedudukan terhormat sebagai pejabat negara DPR, sudah diraih maka terbukalah lebarlebar kesempatan untuk menumpuk harta dan menggait wanita, meskipun dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya secara tidak bermoral! Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang anggota dewan yang punya kehormatan, kedudukan, uang, dan ber bagai fasilitas itu? Bukankah dari beberapa kasus asusila anggota dewan tidak jauh dari korupsi dan perselingkuhan serta pelecehan.
Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Tiurlan Hutagaol masalah korupsi dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan anggota DPR telah merusak citra lembaga DPR. Oleh karena itu, menurut Tiurlan, ke depan partai politik dalam merekrut calon legislatif harus secara sungguh-sungguh memperhatikan in tegritas dan moral dari para caleg. Di samping itu, calon legislatif harus memiliki kapasitas intektual yang bagus.
Dia juga meminta masyarakat agar memilih caleg yang memiliki integritas moral, intelektual. Untuk mengantisipasi kasus korupsi termasuk pelecehan seksual angota DPR, maka sejak awal partai politik yang mencalonkan perlu memperhatikan aspek moral dan integritas caleg.
Sebagai contohnya, bila sesorang yang menjadi caleg mengeluarkan uang yang cukup banyak maka tatkala caleg terpilih terpilih akan berpotensi melakukan korupsi."Sekurang-kurangnya menjadi mata duitan," katanya. Sebab itu, kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Syarif Hasan untuk mengantisipasi terulangnya kasus mencederai citra anggota DPR seperti kasus korupsi dan pelecehan seksual maka setiap pribadi anggota DPR dan setiap fraksi di DPR memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kode etik DPR. "Silakan masing-masing fraksi memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan tindakan melanggar kode etik anggota DPR," kata Syarif
Sedangkan anggota BK dari Fraksi PDI Perjuangan, Agung Sasongko berpendapat, pada prinsipnya BK hanya menjaga citra anggota dan lembaga DPR. Selama ini BK menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat terhadap anggota DPR yang diduga melanggar kode etik DPR. "BK itu memproses setiap anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran kode etik DPR berdasarkan aduan masyarakat," kata Agung. Sekjen Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan, BK sebagai penegak citra dewan seharusnya pro aktif untuk menindak anggota DPR yang melakukan pelanggaran kode etik seperti korupsi dan pelecehan seksual. "Setiap anggota dewan yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik harus ditindak dan diberi sanksi," kata Sebastian. Akhirnya Golput Dekadensi moral yang kian sering dipertontonkan anggota DPR dikhawatirkan memicu masyarakat memilih Golput dalam pemilu. Jika pada Pemilu 2004 jumlah Golput tercatat sekitar 34 juta orang, maka pada pemilu mendatang bukan tidak mungkin angka itu akan bertambah secara signifikan. Kemungkinan tersebut memang mengenaskan.

Persoalannya, telah sama-sama mahfum bahwa Pemilu 2004 sebenarnya telah ‘dimenangkan' Golput, bukan partai politik yang berlaga dalam pemilihan. Betapa tidak? Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu saat itu saja hanya menangguk suara 24 juta, jauh di bawah jumlah Golput. Rentang perbedaan suara Golput dengan pemenang Pemilu 2004 yang mencapai 10 juta pemilih ini menegaskan pertanda bahwa sebetulnya partai politik yang ada bukanlah pilihan yang menarik bagi masyarakat.
Maka ketika kondisi DPR kini begitu karut marut dan selalu membuat rakyat mual dengan aneka pengkhianatan atas amanah yang mereka emban, wajar bila keyakinan akan makin berkembangnya golput itu pun semakin menguat. Lihatlah, sementara masyarakat sulit mencatat prestasi legislasi para politisi Senayan, dengan gampang rakyat menunjuk aneka kedegilan yang terbongkar di lembaga terhormat itu.
Tahun ini saja, paling tidak terkuak urusan korupsi yang membenamkan Al Amin Nur Nasution, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, ke ruang sempit kamar tahanan sejak 9 April lalu. Kasus paling mutakhir, saat Bulyan Royan, anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi, tertangkap tangan dengan uang suap sebesar US$ 66.000 dan 5.500 euro, sebuah jumlah uang yang pasti terlalu besar untuk dibelanjakan di Plaza Senayan, tempat anggota dewan yang terhormat itu dicokok tanpa kehormatan.
Belum lagi kasus aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar yang disebutsebut sebagai biaya sosialisasi UU BI dan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas BI. Kasus itu kini telah menyeret dua orang anggota dan mantan anggota DPR, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdu, ke kamar tahanan.

Tentu saja masyarakat tidak akan menutup mata atas kemungkinan besar bahwa masing-masing kasus tak hanya melibatkan Amin dan Bulyan Royan semata.
Melihat posisi keduanya yang bahkan sama sekali tidak dikenal publik sebelum kasus-kasus itu muncul, terlibatnya nama-nama anggota DPR lain adalah sangat mungkin. Apalagi selama proses penyelidikan pun Amin selalu menyatakan bahwa dirinya lebih sebagai pihak yang mewakili rekanrekannya sesama anggota Komisi DPR untuk mengambil komisi dari Pemda Bintan terkait alih fungsi lahan hutan lindung tersebut. Dengan kata lain, nyaris bisa dipastikan bahwa Amin dan Bulyan tak sendirian dalam kasuskasus mereka itu.
Besar kemungkinan ada banyak wakil rakyat lain yang terlibat. Bila kalangan legislatif saja sudah terlibat, rasanya sangat tidak mungkin kebusukan yang sama tidak melibatkan kalangan eksekutif. Karena itu, berbagai saran agar KPK mengembangkan penyidikan ke semua komisi DPR dan mitra-mitra kerja me reka tentu sangatlah argumentatif. Karena itu, keyakinan bahwa tertangkapnya Amin dan Bulyan hanya sekadar ‘konfirmasi' atas maraknya praktik korupsi di DPR, tampaknya benar adanya.
Dari terma dan istilah yang sering dipakai anggota DPR saat mengobrol dengan kolega-kolega mereka, sebenarnya sejak lama bau tak sedap praktik korupsi di Senayan, sudah sangat menyengat.

Belum lagi kalau bicara soal lain yang tak kalah degilnya, yakni moralitas anggota DPR dalam soal perempuan. Masih hangat dalam ingatan masyarakat soal kasus perselingkuhan bekas anggota DPR Yahya Zaini de ngan penyanyi dangdut Maria Eva.
Hari-hari kita di pekan terakhir ini pun masih dipenuhi aneka pemberitaan media massa soal Max Moein. Untuk Bung yang satu ini, urusannya tidak sekadar terekam te ngah memeluk seorang gadis yang hampir bugil, tetapi ia juga harus menghadapi tudingan berbagai pelecehan seksual dari bekas sekre tarisnya di DPR. Kasus-kasus itu tentu saja makin menguatkan kesan busuk rakyat terhadap anggota DPR.
. tbr

What next?

You can also bookmark this post using your favorite bookmarking service:

Related Posts by Categories



0 komentar: to “ Skandal Panas DPR RI